internet marketing

Tuesday

Cara membersihkan virus VBS/Cryf.A :

0 comments

1. Matikan proses yang mempunyai product name “Microsoft (r) Windows Script Host” dengan cara pilih proses yang mempunyai product name “Microsoft (r) Windows Script Host”, klik kanan pada proses yang sudah di blok, pilih [Kill Selected Processes]
2. Blokir virus menggunakan “Software Restriction Policies” (untuk Windows XP/2003/Vista/2008) dengan cara ketik di dialog box [Run] -> SECPOL.MSC->Enter. Lalu di layar [Local Security Policy], pilih [Software restriction policies], klik kanan dan pilih Create new policies], klik kanan [Additional Rule]-> [New Hash Rule].
3. Di Kolom [File Hash], klik tombol [Browse] dan pilih file yang akan diblok.
Fix Registry dengan menjalankan file [FixRegistry.exe], download di 4shared.com/file/117095567/3ea8e8ce/_4__FixRegistry .html
4. Hapus file induk virus dengan menggunakan tool seperti “Explorer XP (explorerxp.com/explorerxpsetup.exe)
Hapus file berikut:
• %Drive%:\Recycled\S-1-5-21-343818398-18970151121- 842a92511246-500\Thumbs.db
• svchost.vbs
• desktop.ini
• drvco nfg.drv
• SHELL32.dll
• %Drive%:\Album BOKEP\Naughty America
• C:\windows
• appsys.exe
• Winupdt.scx
• appopen.scx
• Windowsopen.mht
• Windows.html
• R egedit.exe.lnk
• Help.htm
• &n bsp; C:\Windows\system\svchost.exe
• C:\WINDOWS\system32
• Taskmgr.exe.lnk
• CMD.exe.lnk
• S vchost.dls
• Corelsetup.scx
• Appsys.dls
• Kernel32.dls
• Winupdtsys.exe
• ssmarque.scr
& bull; C:\Program Files\FarStone\qbtask.exe
• C:\Program Files\ACDsee\Launcher.exe
• C:\Program Files\Common Files\NeroChkup.exe
• C:\Program Files\ExeLauncher
• %ProgramFiles%\drivers\VGA\VGAdrv.lnk
• C:\Documents and Settings\%user%\Desktop\Local Disk (C).dls
• %Flash Disk:\>Dataku Penting Jangan Dihapus.lnk

5. Tampilkan file [TaskMgr.exe/Regedt32.exe/Regedit.exe/CMD.exe/Logoff.ex e] yang disembunyikan oleh virus, caranya ketik di dialog box [Run]->ketik CMD->Enter. Lalu ketik ATTRIB –s –h –r regedit.exe-> Enter. Dengan perintah yang sama, bisa digunakan untuk menampilkan file Taskmgr.exe, cmd.exe dan Logoff.exe
6. Untuk pembersihan optimal dan mencegah infeksi ulang silahkan install dan scan dengan antivirus yang up-to-date. Jika sudah bersih, lalu hapus hapus rule blok file [WSCript.exe] yang telah dibuat pada langkah no. (2), dengan cara ketik SECPOL.MSC di box [Run] dari menu [Start], lalu tekan Enter. Di layar [Local Security Policy], klik 2x [Software restriction policies]-> Additional Rule]->hapus rule yang telah dibuat.

Monday

Tips jika printer error

0 comments

CARA MENGATASI “ABSORBER FULL” PRINTER CANON iP1980

Beberapa waktu yang lalu aku sudah memberikan sedikit tips tentang cara memasang infuse pada Printer Canon iP1980. Nah sekarang Sudah 2 hari ini aku di sibukkan dengan ulah printer yang ngeblink and ngeblink. Capek bro utak-atik printer tapi akhirnya selesai juga kerjaannya. Ceritanya begini, udah direset tapi printer masih terus blingking juga. Awalnya sih bingung gimana cara nanganinya. Ngeprint tidak bisa, perintahnya absorber sudah penuh, sehingga walaupun sudah direset tetap saja printer blingking. Solusinya aku bongkar saja printernya dan di bersihkan terhadap absorber sehingga lebih siap untuk dipakai. Printer Semua merk printer ink jet menyediakan bak khusus yang berisi gabus penyerap tinta. Letaknya di bagian dasar printer canon.

Berikut langkah mencuci gabus absorber printer canon PIXMA IP 1980 :
1. Buka casing printer dengan hati-hati,
a. Pertama-tama kamu buka pakai obeng kecil casing sisi kanan dan sisi kiri printer,


b. kemudian teruskan dengan membuka body casing bagian atas printer, kamu buka dulu baut bagian depan lalu baru buka bagian belakang. lihat gambar ini :


C. Nah ini yang agak rumit, kamu tinggal membuka bebrapa baut satu persatu yang menempel di body printer dan pengait. Kalo takut lupa pasangnya kamu beri tanda khusus (tanda panah) pada bagian tertentu. Ingat betul-betul pengaitnya ini penting saat Anda memasang kembali casing printer.


2. Angkat penutup absorber kemudian keluarkan gabus absorber dari bak penampung.
3. Masukkan gabus absorber pada bak/ timba plastic yang berisi air. Lebih disukai bila airnya hangat. Untuk menghindari agar tangan anda tidak terlalu kotor gunakan sarung tangan plastic. Cuci dan peras gabus hingga dipastikan gabus bersih dari tinta.
4. Jemur gabus absorber yang telah dicuci di terik matahari hingga kering, apabila anda merasa ingin cepat memakai printer, tidak mengapa gabus yang belum kering dipasang kembali pada tempatnya. Pastikan selang saluran pembuangan sudah benar mengarah ke gabus absorber.
5. Sebelum kamu pasang kembali casing printer, ada baiknya selang pembuangan kamu keluarkan dari dalam printer tersebut dan kamu sediakan tempat khusus untuk pembuangan tinta tersebut. Kini printer dalam kondisi lebih fresh dalam menyerap tinta. Resiko melubernya tinta absorber ke bagian lain dari printer bisa di hindari dan printer lebih siap untuk mencetak.
kalo masih ngeblink kamu reset aja printernya.
Ini ada sedikit cara untuk mereset printer canon .
1. Cabut kabel Power
2. Tekan dan tahan Tombol “Power” (On/Off)
3. Masukkan kembali kabel Power
4. Tekan “Reset” dan lepaskan
5. Lepaskan tombol “Power”
6. Apabila berhasil lampu Alarm akan menyala.
dan jika masih blinking juga, kamu coba lagi beberapa kali. Tapi kalo masih blink juga. Ada jalan terakhir yaitu kamu bawa ke tempat service. Berarti printer kamu perlu uang service lebih.
Kemarin ada sedikit pertanyaan dari rekan-rekan mengenai tempat pembuangan tinta printer canon IP 1980. Untuk sekedar saran & pendapat dari aku, jika kita belum bisa memasang sendiri tempat pembuangan tintanya, alangkah lebih baik kita mengajak orang lain yang sedikit lebih mengerti mengenai cara pemasangnnya.
1. Printer haurs kita buka semua. Aku ambil contoh gambar di bawah ini yaitu Printer Epson, setelah aku perhatikan kurang lebih hampir samalah dengan Printer Canon.

2. Perbedaan Printer Epson dan Canon : kalo Printer Epson Selang pembuangan tinta cuma ada 1, sedangkan untuk Printer Canon selang pembuangan tinta nya ada 2. contoh gambar Printer Canon IP1980

3. Body printer harus sedikit di lobangi sesuai dengan selera kita masing-masing, apakah lewat belakang Printer atau lewat samping Printer seperti pada gambar di atas. kalo untuk printer di atas body printernya aku buka.
4. Untuk tempat penampungan pembuangan tinta harus lebih rendah, minimal sejajar dengan selang tinta.
5. Jangan menarik selang tinta terlalu kuat, usahakan sedikit agak longgar. Karena jika terlalu kuat atau kencang, saat printer hidup / beroperasi maka Catridge Printer akan menyangkut & printer mengalami sedikit error.
6. Usahakan untuk mengisi tinta jangan terlalu penuh, minimal setengah aja
oke selamat mencoba, semoga berhasil

Agar disenangi orang lain

0 comments


S S S S S

Suatu saat, adzan Maghrib tiba. Kami bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal dengan tempat mangkalnya aktivis Islam yang mempunyai kesungguhan dalam beribadah. Di sana tampak beberapa pemuda yang berpakaian “khas Islam” sedang menantikan waktu shalat. Kemudian, adzan berkumandang dan qamat pun segera diperdengarkan sesudah shalat sunat. Hal yang menarik adalah begitu sungguh-sungguhnya keinginan imam muda untuk merapikan shaf. Tanda hitam di dahinya, bekas tanda sujud, membuat kami segan. Namun, tatkala upaya merapikan shaf dikatakan dengan kata-kata yang agak ketus tanpa senyuman, “Shaf, shaf, rapikan shafnya!”, suasana shalat tiba-tiba menjadi tegang karena suara lantang dan keras itu. Karuan saja, pada waktu shalat menjadi sulit khusyu, betapa pun bacan sang imam begitu bagus karena terbayang teguran yang keras tadi.

Seusai shalat, beberapa jemaah shalat tadi tidak kuasa menahan lisan untuk saling bertukar ketegangan yang akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di tempat itu lagi. Pada saat yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth, sebuah negara bagian di Australia, tibalah kami di sebuah taman. Sungguh mengherankan, karena hampir setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka tersenyum dengan sangat ramah dan menyapa “Good Morning!” atau sapa dengan tradisinya. Yang semuanya itu dilakukan dengan wajah cerah dan kesopanan. Kami berupaya menjawab sebisanya untuk menutupi kekagetan dan kekaguman. Ini negara yang sering kita sebut negara kaum kafir.

Dua keadaan ini disampaikan tidak untuk meremehkan siapapun tetapi untuk mengevaluasi kita, ternyata luasnya ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan, tidak ada artinya jikalau kita kehilangan perilaku standar yang dicontohkan Rasulullah SAW, sehingga mudah sekali merontokan kewibawaan dakwah itu sendiri.

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dengan berinteraksi dengan sesama ini, bagaimana kalau kita menyebutnya dengan 5 (lima) S : Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.

S pertama adalah

senyum
. Kita harus meneliti relung hati kita jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita rasanya ikut terimbas bahagia. Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang tulus, rasanya lebih enak didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus. Senyuman menambah manisnya wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua keriput. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita termasuk orang yang senang tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita berat untuk tersenyum, bahkan dengan orang yang terdekat sekalipun. Padahal Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa dengan orang lain kecuali dalam keadaan wajah yang jernih dan senyum yang tulus. Mengapa kita begitu enggan tersenyum? Kepada orang tua, guru, dan orang-orang yang berada di sekitar kita?

S yang kedua adalah
salam
. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan keikhlasan, rasanya suasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa bersaudara. Kita dengan terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa tersendiri. Pertanyaannya, mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan salam? Padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pergi ke pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam begitu enggan? Adakah yang salah dalam diri kita?

S ketiga adalah
sapa
. Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah oleh orang lain rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat di mesjid, meski duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu shaf, bahkan berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan keras? Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan sapaan kita?

S keempat,
sopan
. Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk, ketika lewat di depan orang tua. Kita pun menghormatinya. Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua? Sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita, bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan bersolonjor misalnya. Lalu, kita relakan orang yang di depan kita teremehkan. Patut kiranya kita bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang memiliki etika kesopanan atau tidak.

S kelima,
santun
. Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan kepentingan orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean, demi kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk kepentingan orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri. Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki? Sejauh mana hak kita telah dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut berbahagia? Sejauh mana kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun kesungguhan kita untuk membalas kebaikan orang yang kurang baik?

Saudara-saudaraku, Islam sudah banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan indah. Yang dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan agung itu? Yuk, kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau secara sederhana. Amboi, alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat salam hangat ditebar, saling mendo’akan, menyapa dengan ramah, lembut, dan penuh perhatian. Alangkah agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan siapapun dan dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya dipandang, jika pribadi kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan haknya, lapang dada,, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas keburukan dengan kebaikan serta kemuliaan.

Saudaraku, Insya Allah. Andai diri kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini, semoga kita termasuk dalam golongan mujahidin dan mujahidah yang akan mengobarkan kemuliaan Islam sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama buitsu liutammima makarimal akhlak, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.***

Sunday

Back to Holy Qur'an

0 comments

Bersama kembali kepada Al Qur'an

Segala puji bagi Allah yang telah mengerjakan Al-Quran kepada manusia, menjadikan sebagai sumber penetapan hukum, mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama kebenaran agar menjadi yang terbaik dari seluruh agam yang ada, meskipun orang-orang musyrik membencinya dan telah menurunkan kepadanya. Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur’an yang serupa mutu ayat-ayatnya lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah, itulah petunjuk Allah dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya. (Az-Zumar [39]: 23)
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada seorang manusia yang kedudukannya diperkuat oleh Allah dengan Al-Quran, diberi tugas untuk menjelaskan hukum-hukumnya dan menerangkan peraturan-peraturannya. Begitu pula kepada segenap keluarga dan shabat menyampaikan Al-Quran kepada kita serta kepada semua yang mengikuti jejak mereka hingga hari kiamat.

Dalam catatan-catatan berikut ini, kita akan membahas tentang zikir yang paling utama, yakni mengingat Allah dengan cara membaca Al-Quran yang diturunkan pada bulan Ramadhan yang penuh berkah.

Sejarah manusia tidak pernah mencatat sebuah kitab yang diperlukan secara istimewa, diagungkan, dikaji, dan diteliti seperti Al-Quranul Karim yang mendapat perlakuan seperti itu sejak diturunkan hingga hari ini. Sementara para ulama terus berlomba-lomba menafsirkan keutamaan-keutamaan, menyimpulkan makna-maknanya, menelaah sisi-sisi kemukjizatannya, dan masih banyak lagi bentuk interaksi dengan Al-Qurannul Karim.

Al-Quran merupakan simpul syariah, pokok agama sebuah sebuah kitab yang menjadi ruh untuk membuka sekian banyak negeri membuat musuh bertekuk lutut, menjadi sumber rujukan pada ulama, sumber inspirasi para sastrawan, banyak hati yang terpaut, selalu dibaca oleh para ahli ibadah, dan orang-orang rajin mengerjakan shalat. Manusia yang paling baik adalah belajar Al-Quran dan mengerjakannya seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya. Beliau bersabda Sebaik-baiknya orang di antara kamu adalah yang belajar Al-Quran dan mengerjakannya. (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Allah Azza wa Jalla menyebut Al-Quran dengan berbagai sifat. Setiap muslim dituntut untuk merenungkan keagungan Al-Quran dari sifat-sifat yang diselamatkan oleh Allah kepadanya, sambil memikirkan kandungan ayat-ayat karena di dalam Al-Quran terkandung banyak manfaat dan petunjuNya; Sesungguhnya telah datang kepadamu cahay dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti kerendhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah [5]: 15-16)

Membaca Al-Quran termasuk ibadah yang paling utama dan ketaatan yang paling besar. Apalagi bila dilakukan di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, mengingat pahala kebaikan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan. Allah SWT menyediakan pahala yang sangat besar bagi orang yang membaca Al-Qur’annul Karim. Selain itu, kitab suci Al Quran diturunkan pada hari ke 17 di bulan ramadhan atau dinamakan Nuzulul Quran.

UJE menyarankan untuk umat muslim semuanya, kita harus menjaga interaksi dengan Al-Qur’an, yaitu dengan cara membaca, menghayati, menghafal maupun memahaminya sebelum terlambat. Karena Al-Quran adalah ucapan Allah yang agung, jalan yang lurus, syariat yang bijaksanaan, misi yang abadi, mukjizat yang lurus, syariat yang bijaksana, misi yang abadi, mukjizat yang kekal, rahmat yang lurus, dan nikmat yang melimpah. Manusia tidak akan selamat tanpa membawa Al-Quran. Al-Qur’an adalah kitab terakhir dari kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi terakhir pula semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada seluruh pada nabi dengan membawa yang menutup seluruh agama.

Saturday

Virus Komputer "Life is Beautiful" Mengancam..!! ciah ...

0 comments

BEWARE!!! Virus Komputer "Life is Beautiful" Mengancam..!!

Tovic Sobat Malakian 25 Maret jam 23:46 Balas
Intermezo..

Kamis, 25 Maret 2010 | 09:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Perusahaan peranti lunak, Microsoft dan Norton, Selasa (23/3/2010), menginformasikan adanya ancaman penyusupan virus baru lewat surat elektronik (e-mail) yang merusak data komputer pengguna layanan internet, seperti Yahoo, Hotmail, dan AOL (American OnLine).

Virus itu masuk ke surat elektronik dalam bentuk program presentasi Power Point dengan nama "Life is Beautiful". Jika Anda menerimanya, segera hapus file tersebut. Karena jika itu dibuka, akan muncul pesan di layar komputer Anda kalimat: "it is too late now; your life is no longer beautiful...." (Sudah terlambat sekarang, hidup Anda tak indah lagi).

Akibatnya, Anda akan kehilangan semua data di komputer. Bukan itu saja, orang yang mengirimkan "virus" itu juga akan mendapatkan akses ke nama, e-mail, dan password Anda. AOL telah mengonfirmasikan, peranti lunak antivirus yang sementara ini sudah ada tidak mampu menghancurkan "Life is Beautiful". Virus ini diciptakan oleh seorang hacker yang menyebut dirinya "Life Owner". (Sumber:KOMPAS)

Download game ringan , lumayan ngilangin stress

0 comments

Cucumba

Friday

Salahkah Bercita-cita Menjadi Orang Kaya?

0 comments


Salahkah 
Bercita-cita Menjadi Orang Kaya?

Siapa yang menolak jadi jutawan atau milyarder? Semua orang pasti ingin jadi orang kaya. Laki-laki ingin kaya, perempuan ingin kaya, orang kampung ingin kaya, dan orang kota pun pasti ingin kaya. Seseorang dengan uang melimpah bisa membeli semua komoditas yang dibutuhkan. Mau baju bagus, ia bisa membelinya di toko ternama di kotanya. Ingin rumah mewah, ia bisa membeli rumah di kawasan elite yang cenderung dihuni oleh orang-orang dari lapisan atas. Bagaimana dengan nasib orang miskin? Jangankan untuk beli baju bagus atau rumah mewah, untuk nasi bungkus saja mereka harus kerja seharian, baru mereka bisa makan.

Tidaklah salah jika seseorang bercita-cita menjadi orang kaya. Yang salah adalah jika ada yang menyatakan bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan, dan kemiskinan adalah suatu kehinaan. Tapi sebenarnya, kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya. Ironisnya, jika Allah mengujinya dengan memberikan kesenangan-kesenangan, maka ia akan berkata bahwa Allah telah memuliakannya, sedangkan jika Allah mengujinya dengan membatasi rizkinya maka ia berkata, "Allah telah menghinakanku!" Tipe orang semacam itu adalah orang yang mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.

Sebagian orang menganggap bahwa menjadi orang kaya adalah mudah, sebab yang sulit adalah menjadi orang kaya yang shalih. Kalau hanya sekadar kaya, orang bisa mengumpulkan harta kekayaan dan menggunakannya dengan cara apa pun. Tapi, bagaimana caranya agar harta yang kita miliki ini bernilai "halalan thayyiban" dan "barakah?

Ada satu syarat penting di samping syarat-syarat lainnya agar menjadi orang kaya shalih, yaitu ia harus sabar. Ternyata menjadi orang kaya itu harus memiliki kesabaran juga. Kalau kita telaah, sepertinya sabar ketika kita sedang pailit akan lebih memungkinkan daripada sabar ketika kita bergelimang harta. Sebab, ketika kita memiliki harta melimpah, maka akan semakin banyak godaan yang dapat meruntuhkan benteng kesabaran kita.

Maksud sabar di sini adalah sabar dalam mengharap keridhaan Allah. Identik dengan QS 18: 28, "Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyerukan Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya: dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini: dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas".

Godaan pertama bagi orang kaya biasanya adalah adanya keinginan untuk memperlihatkan kekayaannya, atau lebih dikenal dengan sebutan pamer. Berbagai cara digunakan agar orang lain tahu bahwa ia memiliki segalanya. Aktivitas pamer dimulai dari menampakkan aksesori yang bisa dipakai di badan. Kalau memungkinkan, ia akan menggunakan semua perhiasan untuk melengkapi penampilannya agar terlihat kaya, tak peduli situasi dan kondisi yang ada tidak mendukung. Yang penting orang tahu bahwa ia adalah seorang yang kaya raya. Jauh sekali dengan sifat Nabi Sulaiman. Beliau orang kaya raya, namun kemuliaannya sungguh luar biasa, akhlaknya lebih tinggi daripada kekayaannya.

Kekayaan yang melimpah ruah dapat menyebabkan seseorang itu mulia. Sebab, ia menggunakan hartanya di jalan Allah dan membelanjakannya untuk mencari keridhaan Allah. Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya untuk mencari keridhaan Allah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun memadai (QS 2: 265).

Dan sebaliknya, kekayaan juga dapat menyebabkan seseorang menjadi boros, sombong serta merasa ekslusif, dan serakah. Seorang yang boros membelanjakan hartanya hanya untuk kepuasan nafsunya. Apa pun itu, jika menyangkut kepuasan hatinya, ia akan kuras seluruh isi kantongnya. Tapi sayangnya, jika hal itu menyangkut kebaikan orang banyak dan bernilai amal, maka ia akan berpura-pura menjadi orang yang pailit. Intinya, selain menjadi boros, ia juga akan diserang penyakit pelit.

Tidak hanya itu, dengan kekayaan yang dimiliki, seseorang bisa menjadi sombong dan merasa ekslusif. Orang-orang dari lapisan bawah tidak dapat diterima dalam lingkup pergaulannya. Ia merasa bahwa mereka bukanlah orang yang dapat diajak bicara, sebab level mereka berada jauh di bawahnya. Dan ia merasa bahwa dialah orang besar yang memenuhi semua kebutuhannya tanpa bantuan siapa pun.

Dengan adanya perasaan seperti itu, sudah pasti ia akan menjadi serakah. Ia tidak akan merasa puas dengan apa yang sudah ia dapatkan. Sesudah menjadi orang kaya, ia ingin menjadi lebih kaya lagi, dan kalau bisa, tidak ada seorang pun yang dapat melebihi kekayaannya, begitulah seterusnya.

Itulah sifat-sifat orang kaya yang tidak sabar, orang kaya yang tidak mengharapkan keridhaan Allah dari kekayaan yang didapatkannya, dan itulah tipe orang kaya yang tidak shalih. Dengan begitu, bukan berarti Islam mengajarkan pada kita bahwa menjadi orang miskin itu lebih baik daripada menjadi orang kaya yang tidak shalih. Tapi sebenarnya Islam mengajarkan pada kita untuk menjadi orang kaya yang shalih, dan menjadi miskin bukanlah suatu hal yang hina, apalagi kalau ternyata kemiskinan itu dapat menjadikannya seorang yang mulia. Yang lebih buruk adalah, miskin dan tidak shalih. Artinya, dunia dan akhirat tidak didapat. "Sudah jatuh tertimpa tangga pula", ungkapan itulah yang tepat bagi orang yang tidak mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.

Sekali lagi, Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya. Nabi Muhammad adalah seorang kaya raya, demikian juga para sahabat, selain kaya mereka juga berprestasi, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Walaupun mereka kaya, tapi hidup mereka sederhana, intinya menjalankan kehidupan yang proporsional. Bukan saja kebahagiaan dunia yang didapat, namun akhirat pun tetap menjadi tujuan hidupnya.

Semua kekayaan yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Dan kita sebagai hamba-Nya harus dapat memanfaatkannya. Pertama, kita mendapatkannya dengan cara yang halal. Kemudian, membelanjakannya dengan cara yang halal juga. Dan yang ketiga, adanya harapan dari kita, bahwa semua yang telah kita lakukan mendapat ridha Allah SWT.

Kekayaan yang bermanfaat di dunia dan akhirat adalah kekayaan yang barakah yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Pertama, kekayaan tersebut dapat menyebabkan pemiliknya qada`ah (puas dan merasa cukup). Pemiliknya tidak merasa tersiksa dan tidak merasa kekurangan. Ia akan menggunakannya untu beramal.

Kedua, kekayaan yang membuat batin pemiliknya tenang. Harta melimpah tidak membuatnya bingung untuk mengelolanya dan tidak pula menyebabkan rasa was-was untuk kehilangan, sebab ia yakin bahwa semua yang dimilikinya adalah amanah dari Allah SWT. Dan kapan pun bisa Allah ambil kembali.

Ketiga, pemiliknya menjadi lebih mulia daripada kekayaan yang dimiliki. Seperti halnya Nabi Sulaiman, beliau nabi paling kaya, namun kekayaannya digunakan untuk ibadah dan maslahat umat. Beliau menganggap, harta bukanlah segalanya di dunia ini, namun hartanya dapat digunakan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Caranya, harta tersebut dibelanjakan di jalan Allah melalui zakat, infak, dan sidekah. Sebaliknya, jika kekayaannya tidak barakah, maka pemiliknya tidak akan merasa puas, tenteram, dan yang lebih parah lagi, ia tergolong manusia yang sangat hina. Maka dari itu, semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Wallahua`lam

Thursday

Proteksi image dengan PHP

0 comments

Proteksi 
Image dengan PHP tutorial phpBandwith stolen, atau pencurian bandwith menjadi salah satu alasan mengapa saya menulis artikel ini. Namun apa yang menjadi istimewa dari teknik proteksi image dengan PHP? Keistimewaannya adalah anda bisa menampilkan image/gambar hanya pada website-website pilihan anda, dan jika orang lain yang mencoba mengcopy url image anda, niscaya dia tidak bisa menampilkan imagenya di website miliknya. Bandwith anda tetap aman. Script php lengkapnya adalah sebagai berikut :
php
$imagedir = “/home/websiteanda/public_html/images/” ;

$validprefixes = array (
“ilmuwebsite.com”,
“www.ilmuwebsite.com”
) ;

$homepage = “http://www.ilmuwebsite.com/” ;
$email = info@ilmuwebsite.com;

function isreferrerokay ( $referrer, $validprefixes )
{
$validreferrer = 0 ;
$authreferrer  = current( $validprefixes );
while ($authreferrer) {
if (eregi( “^https?://$authreferrer/”, $referrer )) {
$validreferrer = 1 ;
break ;
}
$authreferrer = next( $validprefixes );
}
return $validreferrer ;
}

$image = $_GET['image'] ;
$referrer = getenv( “HTTP_REFERER” );

if (isset($_GET['image'])) {
if (empty($referrer) ||
isreferrerokay( $referrer, $validprefixes )) {

$imagepath = $imagedir . $image ;
$imageinfo = getimagesize( $imagepath );
if ($imageinfo[2] == 1) {
$imagetype = “gif” ;
}
elseif ($imageinfo[2] == 2) {
$imagetype = “jpeg” ;
}
elseif ($imageinfo[2] == 3) {
$imagetype = “png” ;
}
else {
header( “HTTP/1.0 404 Not Found” );
exit ;
}

header( “Content-type: image/$imagetype” );
@readfile( $imagepath );

}
else {

if (isset($email)) {
mail( $email, “Bandwidth Theft Alert”,
“WARNING:nn$referrerntried to accessn$imagen”,
“From: CHImageGuard <$email>” );
}
header( “HTTP/1.0 404 Not Found” );
}
}
else {
header( “Location: $homepage” );
}

?>
Script ini bekerja mengecek refererr. Referer sendiri yang mengindikasikan darimanakan datangnya suatu request terjadi, dalam bentuk url. Dan script ini kemudian mencocokkan referrer, jika domain referrer tidak terdapat dalam  $validprefixes maka domain tersebut tidak dapat menampilkan image, dan begitu sebaliknya. Letakkan script ini di direktori root website anda, atau di dalam direktori anda yang lain, kemudian yang harus di setting adalah :
$imagedir = “/home/websiteanda/public_html/images/” ;
$imagedir merupakan full path dari direktori image anda…
$validprefixes = array (
“ilmuwebsite.com”,
“www.ilmuwebsite.com”
) ;

kemudian $validprefixes merupakan website referer yang diperbolehkaan untuk dapat menampilkan image
$email = info@ilmuwebsite.com;
kemudian yang terakhir adalah email, yang nantinya dapat memberitahukan kepada anda orang lain yang mencoba untuk menampilkan image anda di websitenya tanpa sepengetahuan anda.
untuk menggunakan url nya adalah seperti ini
http://www.websiteanda.com/imgprotection.php?image=image.jpg
contoh penggunaanya seperti ini …
http://unair.info/imagegen/imageir.php?image=image003.jpg
anda dapat mengetesnya dengan menyisipkan tag ini di website anda.

gambarnya tidak akan tampil.
Selamat mencoba. Silahkan download scriptnya disini.
http://www.ilmuwebsite.com/file_tutorial/imgprotection.php.zip

Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak

0 comments

Berikut ini adalah perbedaan antara zakat dan pajak yang bersumber dari penjelasan Prof. Dr. Abdullah Bin Muhammad At Thayyar, tentang Az Zakat, halaman 75-80, Universitas Islam Imam Muhammad Bin Sa’ud, Riyadh dan diterjemahkan oleh Ustadz M. Dahri. Semoga Bermanfaat.
Berikut ini adalah perbedaan antara zakat dan pajak yang bersumber dari penjelasan Prof. Dr. Abdullah Bin Muhammad At Thayyar, tentang Az Zakat, halaman 75-80, Universitas Islam Imam Muhammad Bin Sa’ud, Riyadh dan diterjemahkan oleh Ustadz M. Dahri. Semoga Bermanfaat.
• Zakat adalah hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridhaan Allah, membersihkan diri, harta serta masyarakat.Sedangkan pajak adalah beban yang ditetapkan pemerintah, yang dikumpulkan sebagai keharusan dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum pada satu segi. Dan pada segi lain, untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan-tujuan lainnya yang dicanangkan oleh negara.
• Zakat ditunaikan dengan maksud ibadah (taqarrub) kepada Allah. Sedangkan nilai (makna) demikian ini tidak terpenuhi pada pajak. Karena pajak hanya bersifat keharusan yang ditetapkan oleh negara.
• Zakat adalah kewajiban yang ditetapkan langsung kadar ukurannya oleh syari’at, tanpa memberi peluang bagi hawa nafsu dan keinginan pribadi manusia untuk ikut memasuki dalam menetapkannya.Sebaliknya pajak ditetapkan oleh pemerintah, yang kadarnya dapat ditambah kapan saja, manakala pemerintah menginginkannya sesuai kepentingan maslahat pribadi dan masyarakat.
• Zakat telah ditetapkan tempat penyalurannya oleh syari’at. Bahwa golongan orang yang berhak menerima zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah.Adapun pajak hanya dikumpulkan dalam kas negara, dan dibelanjakan menurut kepentingan yang berbeda-beda.
• Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditetapkan dan bersifat kekal selama di bumi ini ada agama Islam dan ada kaum muslimin.Adapun pajak tidak memiliki sifat tetap dan kekekalan; baik dari segi jenisnya, ukuran minimal wajibnya, kadarnya, maupun tempat pembelanjaannya.





Zakat Dan Pajak
1. Pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat karena perbedaan yang terdapat antara keduanya. Seperti perbedaan pihak yang mewajibkan, tujuan, jenis harta, volume yang wajib dibayar serta penyalurannya.
2. Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar tetapi dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat.
3. Pajak yang harus dibayar kepada pemerintah selama haul dan belum dibayar sebelum haul, dipotong dari harta yang harus dizakati tersebut karena termasuk kewajiban yang harus dilunasi.
4. Peraturan pajak seharusnya disesuaikan sehingga memungkinkan pengambilan volume zakat yang wajib dikeluarkan dari volume pajak untuk memudahkan mereka yang membayar zakat tanpa batas selama yang bersangkutan dapat mengajukan bukti yang kuat bahwa ia telah membayar zakat.
5. Mewajibkan pajak solidaritas sosial atas penduduk non muslim di negara Islam sebesar volume zakat sebagai sumber dana untuk menciptakan solidaritas sosial secara umum yang mencakup seluruh rakyat yang hidup di negara Islam.
6.




Antara Zakat & Pajak
Terdapat perbedaan pokok antara zakat dan pajak, yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persamaan diantara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar tersebut diantaranya, pertama, dari segi nama. Secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat dan berkembang. Sedang pajak, berasal dari kata al-dharibah yang berarti beban. Kadang kala juga diartikan sebagai al-jizyah yang berarti pajak tanah, upeti.

QS. At-Taubah[9]: ayat 29 menerangkan hal ini, ”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. Tafsir Departemen Agama RI pada catatan kaki no.638, memberikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan jizyah adalah pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai perimbangan jaminan keamanan diri mereka sendiri.

Kedua, Dari segi dasar hukum dan kewajibannya. Zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan hadist nabi yang bersifat qathi’ (pasti), sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut dan sepanjang masa kepada kaum muslimin dan merupakan salah satu rukun di dalam agama Islam, sedang pajak hanya merupakan ketentuan pemerintah yang ditetapkan kepada seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga, dari segi batas nishab dan ketentuannya. Zakat memiliki nishab (batas minimal) harta yang dikenai wajib zakat dan ketentuan nishab ini datang dari Allah SWT. Demikian juga kadar zakat yang akan dikeluarkan ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, sedang pajak besarnya tergantung pada kebijakan dan kekuatan pemerintah baik mengenai objek, persentase, harga dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak tergantung kepada pemerintah.

Keempat, dari segi sasarannya. Zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahik yang berjumlah delapan asnaf, sedang pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama.

Letak persamaan sasaran pajak dan zakat adalah semua bidang dan sektor pembangunan yang dibiayai dari dana zakat, kecuali: (1) untuk agama non Islam, (2) untuk aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (3) yang tidak mengandung taqarrab (kebajikan, kebaikan menurut ajaran Islam), dan (4) yang berbau maksiat dan atau syirik menurut ajaran Islam (Sjechul Hadi Permono, 1995). Selain itu, niat khusus yang menyertai pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT tidak dapat dipersamakan dengan niat saat membayar pajak kepada pemerintah.

Dari uraian tersebut diatas, dapatlah diketahui secara jelas bahwa zakat dan pajak, meskipun pada beberapa sisi memiliki kemiripan dan persamaan, akan tetapi pada sisi-sisi yang lain, memiliki berbagai perbedaan yang sangat mendasar. Karenanya, tidak mungkin antara keduanya dianggap sama secara mutlak. Keberadaan zakat bersifat abadi, sementara keberadaan pajak sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang. Demikian pula zakat hanya diwajibkan kepada kaum muslimin yang memenuhi persyaratan obyek atau sumber zakat, sedangkan pajak berlaku pada setiap warga negara dengan tidak membedakan agama yang dianutnya. Demikian pula dalam aspek sasaran dan pemanfaatannya.




PENDAHULUAN
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin.Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan pribadi.Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial.Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas,kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut.Pemahaman sholat sudah merata dikalangan kaum muslimin ,namun belum demikian terhadap zakat.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam,ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah ini.Sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai ibadah mahzhah individu kaum muslimin.Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah,zakat menjadi sebuah ajaran yang sempit bersama mundurnya peranan Islam di panggung politik,ekonomi,ilmu,dan peradaban manusia.
Dalam akhir abad kedua puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam diberbagai sektor kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor yang mulai digali dari berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat Islam memberikan harapan baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi kebangkitan ekonomi di dunia barat khususnya yang didasari pemikiran kapitalistik telah menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan ini seperti;kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi.
Tidak terkecuali Indonesia juga mengalami booming ekonomi,namun sekarang hancur lebur.Akibat dari itu mengakibatkan multi krisis yang berkepanjangan hingga hari ini.Pemerintah tidak mampu menggerakkan ekonomi makro dan ekonomi mikro alhamdulillah masih berjalan walaupun tidak seperti masa tak krisis dulu.
Disaat krisis seperti ini masyarakat masih mampu memberikan sebagian hartanya melalui zakat,infaq dan shodaqohnya untuk meringankan penderitaan saudaranya yang lain,baik yang di daerah krisis, bencana, konflik, dan daerah yang lain. Melihat potensi dana masyarakat yang disalurkan dalam wujud ZIS ini,maka pemerintah melalui Depag dan Depkes memobilisir dana- dana sosial keagamaan dalam rangka membantu ibu dan anak yang rawan terkena penyakit.



DEFINISI ZAKAT

Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak.
Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103,



artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka".
Sedangkan menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.
Keterangan definisi : Kewajiban atas sejumlah harta tertentu, berarti zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya. Kelompok tertentu adalah mustakihin yang terangkum dalam 8 asnhaf. Waktu untuk mengeluarkan zakat adalah ketika sudah berlalu setahun (haul) untuk zakat emas, perak, perdagangan dll, ketika panen untuk hasil tanaman, ketika memperolehnya untuk rikaz dan ketika bulan Ramadhan sampai sebelum shalat 'Iid untuk zakat fitrah.
LANDASAN KEWAJIBAN ZAKAT

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya.
Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul, karena zakat berfungsi sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas dari dosa dan kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah swt. Disamping itu kekayaan yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan amanah Allah swt yang tidak dapat diwariskan


Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al Qur'an, Sunnah dan Ijma Ulama.
1. AL QUR'AN
 Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'".
 Surat At-Taubah ayat 103:




Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
2. SUNNAH
 Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
 Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra, "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
3. IJMA
Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.





PERBEDAAN ANTARA ZAKAT, INFAK DAN SHODAQOH

Dalam penjelasan tentang makna terminologis dari zakat, kita telah mengetahui bahwa zakat adalah kewajiban harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu, alokasi tertentu dan waktu tertentu. Adapun infak yaitu mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat.
Infak ada yang wajib ada yang sunnah. Infak wajib diantaranya kafarat, nadzar, zakat dll. Infak sunnah diantaranya infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam dll.
Adapun shodaqoh maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shodaqoh dapat bermakna infak, zakat dan kebaikan non materi. Dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershodaqoh dengan hartanya, beliau bersabda:
"Setiap tasbih adalah shodaqoh, setiap takbir shodaqoh, setiap tahmid shodaqoh, setiap tahlil shodaqoh, amar ma'ruf shodaqoh, nahi munkar shodaqoh dan menyalurkan syahwatnya pada istri juga shodaqoh".
Shodaqoh adalah ungkapan kejujuran (shidq) iman seseorang. Oleh karena itu Allah swt menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang yang membenarkan adanya pahala yang terbaik. Antara yang bakhil dengan orang yang mendustakan.




SYARAT HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

Harta yang akan dikeluarkan zakatnya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
1. Harta yang Halal dan Baik
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqaraah ayat 267, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Disebutkan dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Allah tidak menerima zakat dari harta yang tidak sah"
2. Harta Produktif (Nama')
Harta produktif adalah harta yang berkembang baik secara konkrit atau tidak. Secara konkrit dengan melalui pengembangan usaha, perdagangan, saham dll. Melalui tangan sendiri atau orang lain. Sedangkan tidak konkrit yaitu harta tersebut berpotensi untuk berkembang. Hal ini sesuai makna zakat itu sendiri yang berarti berkembang.
Harta yang tidak berkembang dan tidak berpotensi untuk dikembangkan tidak wajib dikenai zakat, sesuai dengan hadist Rasulullah saw riwayat Muslim: Artinya: "Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya".
3. Milik Penuh dan Berkuasa Menggunakannya
Pada hakekatnya kepemilikan mutlak pada harta adalah Allah swt, tetapi Allah swt memberikan hak kepemilikan harta kepada manusia secara terbatas. Harta yang dimiliki manusia secara penuh maksudnya bahwa manusia ia berkuasa memiliki dan memanfaatkannya secara penuh. Pemilikan dan pemanfaatan harta harus sesuai dengan aturan-aturan Islam.
4. Mencapai Nishab (Standar Minimal Harta yang dikenakan zakat)
Kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkenak kewajiban zakat. Karena ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

5. Surplus dari Kebutuhan Primer dan Terbebas dari Hutang
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, apakah harta yang dikeluarkan zakatnya harta penghasilan bersih seltelah dikurangi kebutuhan primer, ataukah harta penghasilan kotor? Disisi lain kebutuhan primer setiap orang bersifar relatif dan tidak terukur, sehingga jika syarat surplus dari kebutuhan primer diberlakukan dapat dipastikan banyak yang tidak membayar zakat, walaupun sudah memiliki harta melebihi nishabnya.
Ulama madzhab Hanafi menentukan bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta yang bersih setelah dikurangi kebutuhan rutin. Alasan ini cukup kuat, karena zakat diwajibkan bagi orang kaya sesuai hadist, "tidak wajib bayar zakat kecuali orang kaya". Manakala pendapatan seseorang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian diri dan keluarganya berarti dia tidak termasuk orang kaya, kecuali jika setelah kebutuhan keluarganya terpenuhi masih memiliki kelebihan yang mencapai nishab, berarti ia wajib bayar zakat.
Zakat juga hanya dikenakan jika terbebas dari hutang. Karena hutang merupakan beban yang harus ditunaikan. Walaupun seseorang memiliki banyak kekayaan tetapi jika memiliki banyak hutang maka tidak termasuk orang kaya yang harus membayar zakat, apalagi jika hutangnya lebih besar dari kekayaan. Dan dalam Islam, seseorang yang memiliki banyak hutang disebut ghariim yang berhak menerima zakat. Jika melihat fenomena sekarang dimana mayoritas manusia memiliki hutang, maka terdapat pendapat yang baik dana patut dipertimbangkan, yaitu hutang yang terbebas dari zakat adalah hutang yang jatuh tempo.
6. Haul (Sudah Berlalu Setahun)
Disebutkan dalam hadist riwayat Abu Dawud: Artinya: "Tidak wajib membayar zakat sampai sudah berlalu satu tahun"
Ulama tabi'in dan fuqoha sepakat tentang ketentuan haul pada beberapa harta yang wajib dizakati seperti emas, perak, perdagangan, hewan dll. Dan haul tidak berlaku pada zakat pertanian, rikaz, barang tambang dll. Untuk hasil pertanian disebutkan dalam surat Al An'aam aya 141, artinya: "Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilmu (dengan dikeluarkan zakatnya)".




MACAM-MACAM HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

Dalam buku-buku Fiqh, harta-harta yang wajib dizakati terdiri dari dua macam yaitu Zakat Harta dan Zakat Fitrah. Kemudian Zakat Harta dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian sbb.:
1. Zakat Emas, Perak dan Perhiasan
2. Zakat Hewan dan Produk Hewani
3. Zakat Pertanian dan Hasil Bumi
4. Zakat Barang Perdagangan
5. Zakat Rikaz dan Barang Tambang

ZAKAT DAN PAJAK

Banyak orang berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekwensinya ketika seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki karakteristik berbeda.
Jika dilihat secara cermat memang ada persamaan antara zakat dan pajak, tetapi disisi lain banyak juga perbedaannya.
Persamaan antara Zakat dan Pajak:
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
3. Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.





Perbedaan antara Zakat dan Pajak
Perbedaan Zakat Pajak Keterangan
Nama Berarti bersih, bertambah dan berkembang Utang, pajak, upeti Seseorang yang membayar zakat hartanya menjadi bersih dan berkah tidak demikian dengan pajak
Dasar Hukum Al Qur'an dan As Sunnah Undang-undang suatu negara Pembayaran zakat bernilai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah sedangkan dalam membayar pajak hanya melaksanakan kewajiban warga negara
Nishab dan Tarif Ditentukan Allah dan bersifat mutlak Ditentukan oleh negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek Muslim Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima Tetap 8 Golongan Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang Dikenakan Harta produktif Semua Harta
Syarat Ijab Kabul Disyaratkan Tidak Disyaratkan
Imbalan Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta Tersedianya barang dan jasa publik
Sanksi Dari Allah dan pemerintah Islam Dari Negara
Motivasi Pembayaran Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantuan Selalu menggunakan jasa akuntan pajak
PEMBAYARAN PAJAK

Pembayaran pajak dapat dibenarkan dalam Syari'at Islam karena memiliki beberapa konsideran:
1. Solidaritas sosial dan tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia merupakan kewajiban. Allah berfirman dalam surat Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
2. Sasaran zakat terbatas sedangkan kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak boleh mercampur adukkan harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah layak kiranya harta kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena harta kharaj adalah harta rampasan untuk seluruh kamu muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para ulama berkata: "Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan dan bendungan".
3. Kaidah-kaidah Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk melegalisasi pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah.
4. Kebutuhan untuk biaya jihad dengan segala kaitannya.
5. Kerugian dibayar dengan keuntungan.
Ketika umat Islam membayar pajak, dia dapat merasakan hasil pajak tersebut lewat pembangunan dan keamanan. Agar pembayaran pajak dan zakat dapat berjalan dengan baik maka perlu adanya sinkronisasi pembayaran keduanya. Misalnya ketika seseorang sudah membayar zakat, maka beban pembayaran pajaknya dikurangi sebesar zakat yang telah dikeluarkan agar tidak terjadi kedholiman pada wajib zakat atau wajib pajak.
Selanjutnya ulama modern memasukkan atau menganalogikan beberapa bentuk zakat yang belum dikenal pada saat itu. Diantara bentuk zakat yang popular sekarang adalah: Zakat Uang, Zakat Profesi, Zakat Investasi dan Saham, Zakat Hadiah, Zakat Perusahaan dll. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pokok-pokok zakat yang sudah disepakati ulama, kemudian memasukkan atau menganalogikan bentuk-bentuk zakat yang popular dimasa sekarang dengan bentuk zakat yang sudah baku dan disepakati ulama, di dalam UU Pajak No. 17 Th. 2000, Pasal 9 huruf g dinyatakan bahwa zakat yang dibayarkan pada BAZ atau LAZ yang sah (yang terdaftar di dinas terkait) dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Zakat yang dibayarkan dihitung sesuai dengan ketentuan syari'ah di atas yang selanjutnya dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan yang kena zakat adalah 100 juta, maka zakatnya adalah 2,5 juta, kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak

UU PENGELOLAAN ZAKAT DAN UU PAJAK

Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit dikemukan dalam UU pengelolaan zakat Bab IV tentang pengumpulan zakat pasal 11
ayat (1) menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah.
Pada ayat (2) dikemukan bahwa harta yang dikenai adalah :
a. Emas, perak dan uang
b. Perdagangan dan perusahaan
c. Hasil Pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan
d. Hasil pertambangan
e. Hasil Perternakan
f. Hasil pendapatan dan jasa
g. Rikaz
Ayat (3) Penghitungan zakat maal menurut nishab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan hukum agama (Syariat Islam)
Dalam Undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 2000 dikemukan dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk dalam undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 200 dikemukan dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk: g. Harta yang dihibahkan bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan hendaknya benar-benar sesuai dengan ketentuan syari'ah seperti di atas. kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak. Karena itu, Agar perhitungan tersebut sesuai dengan syari'ah Islam Perlu ada peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya.
Manfaat zakat dalam penyelesaian krisis :
1. Manfaat Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
2. Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan.


Peran Amilin (Pengelola) Zakat

Zakat bukan persoalan baru. Tetapi, pada waktu yang sama, persoalan tersebut tetap hangat karena senantiasa dibahas dan seolah tak pernah habis dan selesai. Salah satu ciri atau sifat ilmu Islam memang demikian, selalu memberi nuansa baru untuk dikaji dan ditelaah. Zakat adalah sebuah persoalan faridhah sulthaniyah, yaitu suatu kewajiban yang terkait dengan kekuasaan. Karena itu, pelaksanaannya dilakukan oleh amilin 'alaiha (petugas-petugas zakat, QS. 9; 60). Dan amilin, walaupun ada aturan tersendiri dalam masyarakat, surat keputusan asalnya ada dalam Al-Qur'an dan merupakan bagian organik dari Undang-undang Islam secara keseluruhan.
Para amilin pertama-tama berfungsi sebagai pengemban amanah Allah SWT, kemudian ia mewakili Rasulullah SAW sebagai iqamatud dien wa siyasah fid dunya para umara setelah rasulullah, yaitu menegakkan agama dan mengatur kehidupan di dunia. Zakat tentu saja merupakan salah satu tiang dari tiang-tiang agama. Jadi kedua, amilin mengemban amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat ini. Dalam hal ini , mereka bertindak sebagai niyabur Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam iqamatud dien. Dan ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan tersebut. Dari sisi ini, kita dapat melihat betapa pentingnya posisi amilin.

Wednesday

Membongkar Kedustaan Wali Setan

0 comments

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dukun-dukun itu biasa menuturkan kepada kami lantas kami jumpai bahwa apa yang mereka katakan itu benar/terbukti, -bagaimana ini-.” Maka Nabi menjawab, “Itu adalah ucapan benar yang dicuri dengar oleh jin (syaitan) kemudian dia bisikkan ke telinga walinya (dukun) dan dia pun menambahkan seratus kedustaan di dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [7/334])


Hadits yang mulia ini mengandung pelajaran berharga, di antaranya:

1. Diharamkannya praktek perdukunan dan perbuatan mendatangi (berkonsultasi dengan) dukun (lihat judul bab yang diberikan oleh an-Nawawi dalam Syarh Muslim [7/332]). Yang dimaksud dengan istilah dukun (kahin, dalam bahasa arab) adalah orang yang mengabarkan perkara gaib yang terjadi di masa depan dengan bersandarkan pada pertolongan syaitan (jin) (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 174). Ada pula yang menafsirkan istilah ‘kahin’ dengan setiap orang yang mengabarkan perkara gaib di masa depan atau di masa lampau yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, dan hal itu didapatkannya dengan cara meminta bantuan kepada jin. Dukun dan tukang sihir itu memiliki kesamaan dari sisi kedua-duanya sama-sama meminta bantuan jin untuk mencapai tujuannya (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 317). Apabila dicermati, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya istilah kahin/dukun itu dipakai untuk menyebut orang yang mengambil berita dari sumber -jin- yang mencuri dengar -berita dari langit yang disampaikan oleh malaikat- (lihat Fath al-Majid, hal. 282, al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1/329). Adapun yang disebut dengan ‘Arraf (orang pintar) adalah orang yang memberitakan tentang berbagai peristiwa seperti halnya mengenai barang curian, siapa yang mencurinya, barang hilang dan di mana letaknya -melalui cara-cara tertentu yang tidak masuk akal-. Sebagian ulama memasukkan kahin/dukun dan munajjim/ahli astrologi dalam kategori ‘Arraf. Ini artinya cakupan ‘Arraf itu lebih luas daripada Kahin. Walaupun ada juga yang berpendapat ‘Arraf sama dengan Kahin. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘Arraf adalah orang yang memberitakan perkara-perkara yang tersembunyi dalam hati (lihat Fath al-Majid, hal. 285-286, al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1/330,337). Pendapat yang kuat -sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Shalih alu Syaikh- adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwasanya istilah ‘Arraf itu umum, mencakup dukun, ahli nujum, dan semacamnya yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib -masa lalu atau masa depan- dengan cara-cara perbintangan, membuat garis di atas tanah, melihat air di dalam mangkok, membaca telapak tangan, melihat rasi bintang/horoskop, dsb. (lihat at-Tam-hid, hal. 319 dan 324-325). Oleh sebab itu, mereka itu (dukun) tidak boleh didatangi dan tidak boleh dipercayai omongannya (lihat Syarh Muslim [7/333]).

2. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya mendustakan ucapan para dukun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya maka dia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)

3. Perdukunan adalah termasuk kemungkaran. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Kemungkaran itu adalah segala hal yang diingkari oleh syari’at. Yaitu segala perkara yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ta’liq Arba’in beliau, sebagaimana dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 236). Bahkan, ia termasuk kemungkaran yang paling berat, karena ia tergolong dalam kemusyrikan.

4. Perdukunan adalah termasuk kemusyrikan. Karena di dalamnya terkandung keyakinan adanya sosok selain Allah yang bersekutu dengan-Nya dalam mengetahui perkara gaib (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 176). Ia juga digolongkan dalam perbuatan syirik karena tindakan meminta bantuan jin dalam perkara semacam ini pasti disertai dengan mempersembahkan bentuk ibadah tertentu kepada jin tersebut, misalnya berupa sembelihan -untuk selain Allah-, beristighotsah kepada selain-Nya, menghinakan mus-haf, mencela Allah atau praktek kemusyrikan dan kekafiran dalam bentuk lain (lihat at-Tam-hid, hal. 317, al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 116).

5. Wajibnya memberantas praktek perdukunan. Karena membiarkan hal itu berarti membiarkan kemungkaran merajalela. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah hal itu dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu untuk itu maka cukup dengan hatinya, dan itu merupakan keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [2/103])

6. Memerangi dukun -dengan hujjah dan keterangan- merupakan tugas mulia para da’i Islam. Sebab, mereka memiliki kewajiban untuk melanjutkan perjuangan dakwah para rasul, yaitu menegakkan tauhid dan memberantas syirik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang mengajak-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma berkata, “Thaghut adalah para dukun yang syaitan-syaitan biasa turun kepada mereka.” (dinukil dari Fath al-Majid, hal. 19)

7. Memerangi dukun dan paranormal -dengan kekuatan dan sanksi hukum- merupakan tugas mulia (kewajiban) yang diemban para pemerintah kaum muslimin demi tegaknya keadilan dan ketentraman di atas muka bumi ini (lihat Syarh ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 504). Perdukunan adalah syirik, sedangkan syirik adalah kezaliman. Bahkan ia termasuk kezaliman yang paling besar! Maka memberantas perdukunan merupakan wujud kepedulian kepada nasib umat dan penegakan keadilan yang tertinggi. Allah ta’ala menceritakan wasiat seorang bapak -yaitu Luqman- yang amat sayang kepada anaknya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Setiap orang yang menebarkan kerusakan di tengah-tengah manusia dalam urusan agama atau dunia mereka, maka dia harus diminta bertaubat. Kalau dia bertaubat maka dibebaskan. Akan tetapi jika tidak mau, maka ia wajib dibunuh. Terlebih lagi jika perkara-perkara ini menyebabkan keluarnya orang dari Islam.” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1/340, lihat juga nasehat Syaikh Shalih al-Fauzan dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 117)

8. Hendaknya menanyakan permasalahan yang tidak dipahami atau kurang jelas kepada ahli ilmu/para ulama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui suatu perkara.” (QS. an-Nahl: 43)

9. Disyari’atkannya menyingkap kebatilan dan menjelaskannya kepada umat manusia. Dan untuk melakukan hal ini tentu dibutuhkan orang yang benar-benar ahli atau paham.

10. Tidak boleh merestui praktek perdukunan, apalagi membantu dan mempromosikannya. Karena itu termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. al-Ma’idah: 2). Oleh sebab itu hendaklah takut kepada Allah para pemilik media massa cetak maupun elektronik yang telah ikut serta menyebarluaskan iklan perdukunan, karena dengan tindakan mereka itu sesungguhnya mereka sedang berhadapan dengan ancaman Allah yang sangat keras. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan/ajarannya -ajaran Nabi- karena mereka pasti akan tertimpa fitnah/bencana atau siksaan yang amat pedih.” (QS. an-Nuur: 63)

11. Wajib bagi para dukun untuk bertaubat kepada Allah. Karena Allah akan mengampuni dosa apa saja selama pelakunya benar-benar bertaubat kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah mengampuni semua jenis dosa.” (QS. az-Zumar: 53). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang bertaubat dari syirik pasti akan diampuni.” Kemudian beliau menyebutkan ayat tadi (lihat Fath al-Majid, hal. 71). Kalau tidak, maka tidak ada lagi ampunan bagi mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah bagi yang tidak bertaubat (lihat Fath al-Majid, hal. 71).

12. Datang ke dukun untuk menyelesaikan masalah tidak akan bisa menyelesaikan masalah, tetapi justru akan membuat masalah yang dihadapi semakin runyam. Karena perdukunan dipenuhi dengan bumbu kedustaan dan yang paling parah akan menjerumuskan ke dalam musibah yang jauh lebih besar yaitu kemusyrikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah pasti haramkan surga atasnya, dan tempat kembalinya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mempersiapkan bagi orang-orang zalim (kafir) itu neraka yang gejolak apinya mengepung mereka. Dan apabila mereka meminta minum (kehausan) maka mereka akan diberikan minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang akan menghanguskan wajah-wajah -mereka-. Itu adalah seburuk-buruk minuman, dan -neraka- itu adalah sejelek-jelek tempat peristirahatan.” (QS. al-Kahfi: 29)

13. Dukun adalah wali syaitan. Meskipun ia dijuluki dengan kyai, ustadz, tabib, pakar pengobatan alternatif, atau bahkan disebut sebagai Wali Allah [?!]. Karena nama tidak merubah hakekat. Oleh sebab itu wajib bagi kaum muslimin untuk waspada dan menjauhi mereka (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 117). Meskipun dukun bisa menampakkan keanehan dan keajaiban, maka hal itu tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk membenarkan mereka. Karena karamah itu hanya diberikan Allah kepada wali-wali-Nya. Padahal hakekat wali Allah adalah hamba yang beriman dan bertakwa (lihat Fath al-Majid, hal. 287). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak perlu merasa takut dan tidak pula sedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa menjaga ketakwaan.” (QS. Yunus: 62-63)

14. Perkara gaib hanya diketahui oleh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit atupun di bumi selain Allah.” (QS. An-Naml: 65). Barangsiapa yang membenarkan dukun yang memberitakan perkara gaib sementara dia mengetahui bahwa tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah maka dia telah melakukan kekafiran akbar yang mengeluarkan dari Islam. Apabila dia tidak mengerti dan tidak meyakini bahwa al-Qur’an mengandung kedustaan, maka kekafirannya digolongkan kekafiran yang tidak sampai mengeluarkan dari agama (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1/333).

15. Kita tidak boleh tertipu oleh kebenaran yang disampaikan oleh dukun dalam sebagian perkara ataupun dikarenakan banyaknya orang -yang dianggap berilmu- yang berduyun-duyun mendatangi mereka. Sesungguhnya mereka bukanlah orang yang mendalam ilmunya, bahkan perbuatan mereka -dengan melanggar larangan- itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh (lihat Fath al-Majid, hal. 283)

16. Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya mengangkat dukun atau paranormal sebagai penasehat/konsultan, baik untuk individu, keluarga, organisasi/perkumpulan, perusahaan, apalagi sebuah negara yang mengurusi hajat hidup orang banyak.

17. Hadits ini menunjukkan tidak adanya pembedaan hukum atas apa yang disebut sebagai ilmu hitam dan ilmu putih yang dimiliki oleh para dukun atau paranormal (yang berkedok kyai maupun yang bertampang preman), semuanya sama-sama kemusyrikan. Semua dukun adalah pendusta! Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


IBNU TAIMIYAH, IBNU HAJAR, SHOLAHUDIN AL AYUBI PRO MAULID NABI?

Sebagian orang selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan tanpa tuntunan yang ia lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan perkataan ulama Ahlus Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka. Inilah yang terjadi dalam perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan sehingga beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada perkataan lain dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah di antara ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya kami juga akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh para simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk mengungkap yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkan dan tolonglah).


KERANCUAN PENRTAMA: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah

Di salah satu website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.”

Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1]

Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut.

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.

Oleh karena itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’) bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya). Inilah yang beliau makruhkan.

Namun perlu diketahui bahwa jika mereka (para umara’) tidak melakukan hal ini (yaitu memperindah mushaf), tentu mereka akan melakukan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut malah menyalurkan infaq mereka untuk mencetak buku-buku tidak bermoral: buku cerita yang hanya menghabiskan waktu, buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan buku filsafat dari Persia dan Romawi.”[2] Demikian perkataan beliau rahimahullah.

Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik.

Coba kita lihat kembali perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab yang sama (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah keliru dengan perkataan beliau di atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam mengatakan,

“Begitu pula halnya dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi perbuatan mereka menyerupai tingkah laku Nashrani sebagaimana Nashrani pun memperingati kelahiran (milad) ‘Isa ‘alaihis salam. Boleh jadi maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan. Padahal perlu diketahui bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan maulid sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Padahal ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan tidak ada faktor penghalang di kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat maslahat murni atau maslahat yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih pantas melakukannya daripada kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka juga tentu lebih semangat dalam kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’ (mengikuti) dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah, menghidupkan ajaran beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran beliau dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan lisan. Inilah jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan Muhajirin, Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”[3]

Kami rasa sudah jelas jika kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali beliau menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya amalan yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan Natal yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah masih menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?!

Mohon jangan menukil perkataan beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara utuh di halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik perkataan beliau di atas: “Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan.” Dari sini, beliau menggolongkan maulid sebagai bid’ah karena memang tidak pernah diadakan oleh para salaf dahulu (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Namun perayaan ini dihidupkan dan diada-adakan oleh Dinasti ‘Ubaidiyyun[4]. Dan ingat, beliau katakan bahwa mudah-mudahan mereka mendapat pahala karena mengangungkan dan mencintai beliau, namun bukan pada acara bid’ah maulid yang mereka ada-adakan. Mohon pahami baik-baik perkataan beliau ini. Semoga Allah beri kepahaman.

Lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat dalam Majmu’ Al Fatawa sebagai berikut.

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror (lebaran ketupat)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.”[5]

Renungkan perkataan beliau baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini bahwa beliau mendukung Maulid? Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita sekalian agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.



KERANCUAN KEDUA: Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi

Perkataan berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6]

Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:

“Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur’an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya”.[7]

Sanggahan untuk kerancuan di atas:

Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan ketergelinciran. Oleh karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil. Janganlah bersikap mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan hawa nafsu. Jika ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti kita pun akan menuai kejelekan.

Sulaiman At Taimi mengatakan,
“Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”

Al Auza’i mengatakan,

“Barangsiapa yang mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.[8]

Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah telah mengatakan di atas: “Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama”, maka sebenarnya perkataan beliau ini sudah cukup untuk menyatakan tercelanya perayaan Maulid. Cukup sebagai sanggahannya,

“Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Ketiga: Justru dalil puasa Asyura di atas bisa berbalik pada orang yang pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati Maulid, maka tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah dipastikan bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid karena tidak satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah sebenarnya telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa saja yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk.

Keempat: Menyimpulkan dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa Asyura adalah pendalilan yang terlalu memberat-beratkan diri dan pendalilan semacam ini tertolak. Karena ingatlah bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan amalan sosial sebagaimana kata sebagian orang. Buktinya adalah yang merayakan maulid ingin merealisasikan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap yang merayakannya pasti ingin cari pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut adalah ibadah, maka landasannya adalah dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah, maka cukup kami sanggah dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]

Ibnu ‘Umar mengatakan,

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”[10]

Kelima: Ingatlah bahwa mengenai puasa Asyura ada dorongan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan Maulid yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mendorong untuk melakukannya.[11]



KERANCUAN KETIGA: Shalahuddin Al Ayubi Mempelopori Peringatan Maulid

Di negeri ini lebih terkenal kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam rangka menyemangati para pemuda.

Kami merasa aneh kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah) malah diklaim sebagai pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa Shalahuddin Al Ayubi adalah seorang raja dan panglima Islam. Beliau bahkan yang melenyapkan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[12]

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[13]

Lalu siapakah sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)?

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[14]

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[15]

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].”[16]

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[17]

Bagaimana mungkin Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

“Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.”[18]

Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

“Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terbesar luas.”[19][20]

Dari penjelasan ini, sangat mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi pelopor perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun. Sungguh, jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid, maka ini sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin itu menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di negeri ini. Hanya Allah yang beri taufik.



KERANCUAN KEEMPAT: Argumen Peringatan Maulid dengan Puasa Senin Kamis

Berikut adalah kerancuan lainnya dari kalangan pro Maulid. Mereka mengatakan, “Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan:

“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”[21]

Sanggahan terhadap syubhat di atas:

Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.

Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari kamis. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”[22] Sehingga hadits yang dikemukakan kalangan pro Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin memperingati hari kelahirannya.

Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cara memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang beliau contohkan. Namun kami belum ketahui ada yang bersyukur dengan cara seperti ini. Yang ada bentuk syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa tuntunan, bahkan ada pula yang memperingatinya dengan bermusik ria.[23]

Demikian pembahasan kami mengenai beberapa syubhat yang ada dari para simpatisan Maulid. Namun masih banyak syubhat dan kerancuan lainnya, moga-moga lain waktu bisa kami lengkapi insya Allah. Kerancuan dan jawaban lainnya bisa dilihat di artikel kami sebelumnya di sini. Intinya, syubhat yang dimunculkan tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu boleh jadi dengan anggapan baik semata (tanpa dalil) dan boleh jadi dengan dalil namun salah dalam memahami.

Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Cukuplah maksud kami ini sebagaimanan yang dikatakan oleh Nabi Syu’aib,

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.




RUJUKAN;

[1] Syubhat ini dikemukakan di salah satu web pro Maulid Nabi. Silakan lihat link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1 . Begitu pula Syubhat ini dilontarkan oleh pemilik blog Salafytobat di sini >> http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/04/sunnah-maulid-nabi-allah-pun-merayakan-maulid-nabi-nabi/ .

[2] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 2/126-127, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H

[3] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/123-124.

[4] Coba lihat pembahasan tentang “Sejarah Kelam Maulid Nabi” di sini >> http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2925-sejarah-kelam-maulid-nabi.html atau di sini >> http://muslim.or.id/manhaj/antara-cinta-nabi-dan-perayaan-maulid-nabi-2.html . Insya Allah akan kami singgung pula dalam penjelasan selanjutnya.

[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 25/298, Darul Wafa’,

[6] Lihat Al Hawi Lil Fatawa, As Suyuthi, 1/282, Asy Syamilah

[7] Syubhat ini disampaikan dari web pro Maulid Nabi di link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1

[8] Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah.

[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid.

[10] Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah

[11] Sanggahan ini kami olah dengan beberapa tambahan dari Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiri, hal. 159-161, Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.

[12] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146

[13] Dinukil dari Al Maulid, hal. 20

[14] Majmu’ Al Fatawa, 35/127

[15] Idem.

[16] Wafayatul A’yan, 3/117-118

[17] Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143

[18] Majmu’ Al Fatawa, 35/138

[19] Majmu’ Al Fatawa, 3/281.

[20] Untuk mengetahui selengkapnya mengenai Shalahuddin Al Ayubi apakah mendukung Maulid, silakan baca di buku “Benarkan Shalahudin Al Ayubi mengerjakan Maulid Nabi?”, yang ditulis oleh Al Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Maktabah Muawiyah bin Abi Sofyan.

[21] Syubhat ini dijadikan dalil bolehnya perayaan Maulid Nabi di web pada link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1 .

[22] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 4897.

[23] Lihat sanggahan dalam kitab Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 176.


MEMAHAMI TAKDIR DENGAN BENAR

Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.


ANTARA QODHO' DAN QODAR

Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]


EMPAT PRINSIP KEIMANAN KEPADA TAKDIR

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.

Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.

Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, {70}

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70). {59}

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).

Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,

“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[3]

Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.

Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.

Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,{63}

“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63) {96}

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]


ANTARA KEHENDAK MAKHLUK DAN KEHENDAK-NYA

Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.

Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,{39}

“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39) {223}

“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)

Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan, {16}

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16){286}

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)

Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,{29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]


MACAM-MACAM TAKDIR

Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:

[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,{51}

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[6]

[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,{173}

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).

[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,{5}

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)

[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman, {5}

“Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)

[5] Takdir Yaumi. Yakni pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,{29}

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]


SIKAP PERTENGAHAN DALAM MEMAHAMI TAKDIR

Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.

Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)

Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]


TAKDIR BAIK DAN TAKDIR BURUK

Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.

Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.

Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :{41}

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]


BERSEMANGATLAH, JANGAN HANYA BERSANDAR PADA TAKDIR

Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]


FAEDAH PENTING;

Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :

Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.

Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.

Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,23}

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]

Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.



RUJUKAN;

[1] Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama. [ed]

[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi

[3] HR. Muslim 2653.

[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.

[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H

[6] HR. Muslim

[7] Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M

[8] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007

[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.

[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.

[11] HR. Muslim 2664

[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.

[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.


SEBAB BERTAMBAH DAN BERKURANGNYA IMAN

Setelah kita mengetahui iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah sepantasnya seorang muslim mengenal kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman sehingga dapat menjaga diri dan selamat didunia dan akherat.

Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang mendapatkan taufiq dari Allah Ta’ala selalu berusaha melakukan dua perkara:

1. Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya serta menerapkannya baik secara ilmu dan amal secara bersama-sama.
2. Berusaha menolak semua yang menentang dan menghapus iman atau menguranginya dari fitnah-fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, mengobati kekurangan dari awal dan mengobati yang seterusnya dengan taubat nasuha serta mengetahui satu perkara sebelum hilang.[1]

Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab bertambahnya iman dan melaksanakannya. Sedangkan berusaha menolak semua yang menghapus dan menentangnya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab berkurangnya iman dan berhati-hati dari terjerumus di dalamnya.

SEBAB-SEBAB BERTAMBAHNYA IMAN

Pertama: Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi sarana beribadah kepada Allah Ta’ala dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Pertambahan iman yang didapatkan dari ilmu bisa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:

1. Sisi keluarnya ahli ilmu dalam mencari ilmu
2. Duduknya mereka dalam halaqah ilmu
3. Mudzakarah (diskusi) di antara mereka dalam masalah ilmu
4. Penambahan pengetahuan terhadap Allah dan syari’at-Nya
5. Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari
6. Tambahan pahala dari orang yang belajar dari mereka

Kedua: Merenungi ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman.

Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman”.[2]

Ketiga: Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan mensinambungkannya. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman. Karena iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Di antara sebab pertambahan iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan, jenis dan banyaknya amalan. Semakin baik amalan, semakin besar penambahan iman dan bagusnya pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalan, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan utama dari yang lainnya. Semakin utama ketaatan tersebut maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman bertambah dengan bertambahnya amalan.”[3]

SEBAB-SEBAB BERKURANGNYA IMAN

Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (faktor internal) dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal).

Faktor internal berkurangnya iman

Pertama: Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya iman.

Kedua: Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.

Ketiga: Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala menambah iman, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala mengurangi iman. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat-tingkat”.[4]

Keempat: Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah Ta’ala jelaskan dalam menceritakan istri al-Aziz ,

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)

Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan setelahnya.

Faktor eksternal berkurangnya iman

Pertama: Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab penting eksternal yang mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.

Kedua: Dunia dan fitnah (godaan)nya. Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat mengurangi iman. Sebab semakin semangat manusia memiliki dunia dan semakin menginginkannya, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akherat, sebagaiman dituturkan Imam Ibnul Qayyim.

Ketiga: Teman bergaul yang jelek. Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya terhadap keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau,

“Seorang itu berada di atas agama kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.”[5]

Demikianlah perkara yang harus diperhatikan dalam iman, mudah-mudahan hal ini dapat menggerakkan kita untuk lebih mengokohkan iman dan menyempurnakannya.

Wabillahi taufiq.


BUKTI CINTA KEPADA NABI


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,

”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]


MENGAPA KITA HARUS MENCINTAI NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai

Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:

FAEDAH MENCINTAI NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[1] Mendapatkan manisnya iman

Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”[4]

[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]

Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]

[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]

Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]

BUKTI CINTA NABI SHOLALLOHU'ALAIHI WA SALAM

Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun

Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]

Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
(4)”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[11]

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]


BENTUK MEMBELA NABI shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-

Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[17]

[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,

“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.


BUKTI CINTA NABI MUHAMMAD BUKANLAH DENGAN BERBUAT BID'AH

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]


PANDANGAN ULAMA AHLUS SUNNAH tentang MAULID NABIi

[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”

Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]

[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]

PENUTUP

Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.

Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


RUJUKAN;

[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164, Muassasah Al Qurthubah.

[2] Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir.

[3] HR. Bukhari no. 6632.

[4] HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43.

[5] HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639

[6] HR. Bukhari no. 3688.

[7] HR. Muslim no. 44

[8] Pembahasan ini diringkas dari Huququn Nabi bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.40-46, Hubbun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ‘alamatuhu, hal. 13-15. Kami pernah memuat tulisan ini dalam risalah kecil yang berjudul Mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Antara Mencintai dan Melecehkan, diterbitkan oleh Pustaka Muslim, Jumadats Tsaniyah, 1428 H

[9] HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’

[10] I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.

[11] HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih

[12] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih.

[13] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[14] HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.

[15] HR. Muslim no. 2541.

[16] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.

[17] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.

[18] Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.

[19] HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.

[20] HR. Bukhari no. 3461

[21] Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.

[22] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718

[23] Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.

[24] Majmu’ Fatawa, 25/298.

[25] As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139

[26] Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183

[27] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 1/266, Asy Syamilah

Date Conversion
Gregorian to Hijri Hijri to Gregorian
Day: Month: Year
 

Tri Susanto | Copyright 2009 Tri Susanto | Blogger Template by Mas San | Sponsored by Noow!